Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah petani di seluruh Indonesia hingga Februari 2014 menurun 280 ribu orang (0,68 persen) dari 41,11 juta petani pada Februari 2013 menjadi 40,83 juta petani pada Februari 2014.
Kepala BPS Suryamin mengatakan, jumlah tersebut merupakan bagian dari 125 juta orang angkatan kerja periode yang sama. Namun jumlah penduduk usia kerja per Februari 2014 masih sebanyak 181 juta orang.
“Dalam setahun terakhir, jumlah penduduk bekerja meningkat kecuali di pertanian turun 280 ribu orang,” kata Suryamin di Jakarta, Senin (5/5).
Menurut dia, petani banyak bergeser ke sektor pekerjaan lain seperti ke pengolahan (sekunder) sampai ke sektor jasa. Ia menilai, hal itu merupakan kemajuan bagi pembangunan ekonomi.
Kesejahteraan Memburuk
Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, jumlah petani sejak 2003 hingga 2013 menurun 5,04 juta orang. Ia mencatat jumlah petani di seluruh Indonesia menurun 1,75 persen per tahun dalam periode itu.
“Salah satu buktinya nilai tukar petani (NTP) yang tidak pernah bagus. Padahal NTP adalah indeks kesejahteraan petani dengan cara membandingkan kemampuan beli petani terhadap harga jual produk pertaniannya. Jika NTP buruk, kesejahteraan petani juga buruk,” kata Tejo.
Menurut dia, kesejahteraan rendah menyebabkan petani mengalami kemiskinan. Meski ekonomi Indonesia tumbuh, petani seakan tidak merasa mendapat manfaatnya. “Meski Bank Dunia merilis Indonesia masuk 10 besar perekonomian dunia, itu dari sisi mana? Petaninya saja miskin. Sepertinya negara ini sedang bergurau,” kata dia.
Dengan kesejahteraan menurun akan menyebabkan tingkat kemiskinan petani melonjak. Meski BPS mencatat penurunan angka kemiskinan menjadi 11,4 persen dari total penduduk, Tejo menilai angka tersebut hanya diperoleh dari penduduk miskin di kota.
“Penurunan angka kemiskinan tidak menggambarkan kemiskinan di pedesaan. Mungkin yang mereka lihat di kota saja, tapi ternyata masih banyak yang tinggal di kolong jembatan,” katanya.
Alih Fungsi Lahan
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas mengatakan, gejala penurunan jumlah tenaga kerja pertanian sudah terjadi sejak 10 tahun lalu. Ia menganggap penurunan jumlah petani mencapai 500 ribu orang per tahun.
”Saya khawatir karena jumlah petani menurun, jumlah lahan sawah juga turun. Banyak petani mengalihfungsikan ke sektor lain. Ini mengancam kedaulatan pangan ke depan,” kata Andreas.
Menurut dia, jika sektor pertanian menurun, seharusnya sektor manufaktur membaik. Namun kenyataannya, ia menilai sektor manufaktur juga mengalami hal serupa.
Andreas menduga alih profesi petani ini lantaran tingkat kemiskinan yang terus mendera.
”Ini sangat berbahaya. Produksi pertanian akan menurun akibat konversi lahan. Mereka (pemilik lahan yang baru) tidak akan menggarap lahan pertanian tersebut melainkan menyewakan atau dibiarkan. Setelah harga tinggi, lahan itu akan dijual,” katanya.