Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia hingga kuartal I-2014 hanya tumbuh 5,21 persen. Nilai tersebut melambat dibanding realisasi periode sama tahun lalu sebesar 6,02 persen.
Perekonomian Indonesia hanya naik 0,95 persen dibanding kuartal IV-2013. Namun kondisi itu lebih rendah dari konsesi analis Reuters sebesar 5,60 persen (yoy) dan 1,26 persen (qoq).
Kepala BPS Suryamin mengatakan, pertumbuhan ekonomi masih naik karena pengaruh konsumsi domestik. Namun pelambanan karena dampak pelarangan ekspor mineral dan batu bara (minerba).
“Ekonomi Indonesia di periode ini tumbuh paling lambat selama empat tahun terakhir. Hal ini juga sebagai dampak kenaikan suku bunga acuan dan ketidakpastian pemilihan presiden mendatang yang menjadikan investor ragu,” kata Suryamin seperti dikutip Reuters.
Menurut dia, permintaan domestik akan tetap kuat seiring upaya bank sentral menekan inflasi. Para pembuat kebijakan juga telah mengambil tindakan agresif terutama mengecilkan defisit transaksi berjalan.
Kondisi ini mengantisipasi cadangan arus modal asing hengkang dari domestik dan tetap menjaga rupiah stabil. Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah menguat menjadi Rp 11.511 per dolar AS, dari akhir pekan lalu Rp 11.537 per dolar AS.
Namun kondisi itu masih membuat ketidakpastian terutama risiko politik. Saat ini pasar masih menunggu calon terkuat untuk posisi presiden RI periode 2014-2019.
Tidak Berkaitan
Pengamat ekonomi Iman Sugema menilai ketidakpastian capres menjadi alasan yang dibuat-buat karena sudah tercipta dua sosok capres kuat yang disukai pelaku pasar. Menurut dia, saat ini Joko Widodo sudah terlihat didekati partai-partai. Kubu Prabowo Subianto juga sama.
“Kedua sosok ini dinilai cukup bagus bagi perekonomian. Jadi urusan politik tidak masuk hitungan terhadap pelambanan ekonomi periode tersebut,” kata Iman.
Menurut Iman, dampak Undang-Undang Pelarangan Hasil Tambang Mentah yang berpengaruh ke pelambanan ekonomi dinilai harus diantisipasi pemerintah. Industri seharusnya segera mempersiapkan pemurnian (smelter) mineral dan batu bara agar pelambanan bisa terkompensasi.
Terkait suku bunga, hal tersebut menjadi tanggung jawab Bank indonesia (BI). Padahal, di negara-negara maju tidak ada suku bunga tinggi, sehingga industri dan UKM dapat melebarkan sayap usahanya. Ia menganggap BI harus segera memberikan suku bunga rendah agar industri berkembang. “Menaikkan suku bunga tidak menarik banyak investor asing masuk lagi,” katanya.
Perlu Kestabilan
Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto mempertanyakan korelasi antara capres dengan pelambanan ekonomi. Dia menilai, ini alasan klasik yang dibuat-buat jelang pilpres.
“Ada persoalan politik praktis dibalik semua ini. Padahal pemilu justru mendongkrak belanja dan konsumsi yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi kita,” katanya.
Selain itu, bila melihat indikator akan dampak pelambanan ekonomi, seharusnya pemerintah mengambil langkah antisipasi dan kebijakan serta stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, pertumbuhan ekonomi dibiarkan.
“Ada apa? mengapa dibiarkan melambat. Terlebih di masa akhir pemerintahan SBY yang sebelumnya mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen. Setidaknya jika tidak mampu menaikkan pertumbuhan ekonomi, seharusnya bisa menjaganya tetap stabil,” katanya.