“Berikan aku 10 pemuda maka akan ku ajak mengguncang dunia.” Begitulah pesan Presiden Bung Karno menyemangati pemuda dalam membela bangsa.
Hanya dengan 10 orang saja, orang nomor satu di tanah air ini berharap bisa mendidiknya hingga mampu menggerakkan seluruh bangsa di tanah air.
Bung Karno melontarkan pernyataan tersebut hanyalah sebuah perumpaan. Untuk membangun sebuah bangsa diperlukan ketangguhan dari masing-masing individu dulu, baru akan mengubah masyarakat sekitarnya.
Memang untuk kondisi saat ini, mahasiswa tidak perlu pergi berperang melawan penjahat. Tapi yang diperlukan adalah membangun kompetensi diri agar bisa bersaing dengan lainnya. Kalau perlu, bisa bersaing dengan mahasiswa dari negara lain.
Begitu juga mahasiswa yang sampai saat ini masih dianggap sebagai agen perubahan di masyarakat. Tentunya agen perubahan menuju masyarakat yang lebih baik.
Sayangnya, mahasiswa saat ini mulai kehilangan ketangguhannya. Menjadi mahasiswa hanya dijadikan status di masyarakat bahwa ia bisa melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi, bukan mencari ilmu demi kehidupannya lebih baik.
Ada media yang menangkap tindakan mahasiswa sedang tawuran antarkampus hingga hura-hura di pusat perbelanjaan atau tempat hiburan malam. Belum lagi kabar pembunuhan, jual beli skripsi hingga tindakan asusila yang mengakibatkan kehilangan nyawa. Tragis.
Memang tindakan itu tidak dilakukan oleh mayoritas mahasiswa saat ini. Tapi itulah bukti bahwa sistem pendidikan di tingkat mahasiswa belum menyentuh pendidikan nurani yang mengharuskan mahasiswa bisa melihat sebab akibat dari segala sesuatu yang dilakukannya.
Bahkan Presiden Direktur Entrepreneur College Khoirussalim* pernah bilang sangat prihatin dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan nasional hanya menyiapkan lulusannya siap bekerja sebagai karyawan, bukan sebagai wirausaha.
“Mentalnya hanya dididik sebagai buruh, bukan menjadi seorang pemimpin,” ujarnya.
Padahal, sarjana-sarjana ini diharapkan bisa menciptakan lapangan kerja agar ikut andil dalam menekan pengangguran. Misalnya, bisa dimulai dengan wirausaha bermodal kecil seperti reparasi komputer, jasa pengetikan, jual beli perangkat keras (hardware) dan lunak (software) atau apapun sesuai minatnya. Atau bisa dimulai dari seminar-seminar bisnis, motivasi atau pelatihan yang memungkinkan naluri bisnis mahasiswa terasah.
Dalam penelitiannya di tahun lalu, sekitar 89,3% dari lulusan D3 dan 83,1% lulusan S1 seluruh Indonesia memilih untuk menjadi karyawan. Hanya sekitar 5% saja yang berminat berwirausaha.
Khoirussalim justru bangga terhadap sekitar 21% lulusan jenjang pendidikan SLTP yang lebih berminat menjadi wirausaha.
Motivator termuda nomor satu di Asia Bong Chandra** juga menekankan pentingnya menjadi wirausaha. Masalahnya, sekitar 95% orang yang memilih menjadi karyawan akan hidup bagaikan dalam penjara. Lho??
Bagaimana tidak, mereka akan terpenjara oleh rutinitas pekerjaan mereka. Bangun pukul 6 pagi, berangkat pukul 7 pagi, pulang pukul 5 sore, belum lagi kalau ada lembur hingga harus menembus kemacetan kota. Mereka akan menekuni rutinitas itu setiap hari, kecuali hari libur kerja.
Bong menyebut orang yang dalam kondisi itu menjadi golongan 13 P (Pergi Pagi Pulang Petang Penghasilan Pas-Pasan, Pantat Pegal-pegal, Pala pusing-pusing). Ahh..nasib!!
Hidup itu pilihan. Makanya Bung Karno hanya memilih orang-orang terpilih untuk bisa berjuang dengannya. Namun perjuangannya tersebut bukan melawan penjajahan lagi, tapi lebih kepada bisa menjadi manusia yang bebas menentukan kekayaannya sendiri.
Dan kekayaan itu bisa dimulai dari sekarang, dari hal kecil dan dari diri sendiri!!
Sumber:
* Harian Warta Kota,Rabu 13 April 2011
** Chandra, Bong. 2011. Unlimited Wealth. Jakarta:Elex Media Komputindo