Salah Kaprah Praktik CSRBuku “CID: Catatan Inspiratif Praksis CSR dalam Pengembangan Masyarakat”. Foto: Didik Purwanto

Salah kaprah praktik CSR sudah terlalu mengakar di kultur perusahaan. Masyarakat sebagai subjek tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) dianggap sebagai korban.

Untuk menjalankan fungsi CSR sesuai aturan, perusahaan selama ini hanya memaknai dengan membagi-bagikan uang atau bantuan lain kepada masyarakat sekitar. Imbasnya, ini semacam sogokan dari perusahaan agar masyarakat sekadar diperhatikan.

Padahal dalam kondisi saat ini, fungsi CSR seperti itu tidak berlaku lagi. Perusahaan dituntut lebih luas dalam memberdayakan masyarakat melalui program-program CSR-nya.

Muncullah istilah Community Involvement and Development (CID) yang lebih menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat. Semua dibahas dalam buku “CID: Catatan Inspiratif Praksis CSR dalam Pengembangan Masyarakat” yang ditulis Ditto Santoso dan diterbitkan Rumah Bangga.

Salah Kaprah Praktik CSR
Buku “CID: Catatan Inspiratif Praksis CSR dalam Pengembangan Masyarakat”. Foto: Didik Purwanto

Dalam buku sepanjang 160 halaman ini, Ditto mencoba memberi pandangan baru praktik CSR. Fungsi CSR tidak hanya bagi-bagi bantuan namun memberdayakan mereka sehingga mampu mandiri. Syukur, kalau mereka mampu berkolaborasi sehingga sama-sama saling menguntungkan.

Miskonsepsi Fungsi CSR

Definisi CSR sesungguhnya yakni tanggung jawab organisasi atas dampak keputusan dan tindakannya terhadap masyarakat dan lingkungan. Hal itu tercermin secara transparan melalui perilaku etis yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.

Namun Ditto malah enggan menyebut atau sangat jarang menulis CSR dalam bukunya tersebut. Dia mengistilahkan sebagai Community Involvement and Development (CID) atau yang bermakna pelibatan dan pengembangan masyarakat. Itulah alasan Ditto memakai judul bukunya.

Meski, pemakaian judul tersebut terkadang malah kurang dipahami bagi masyarakat awam. Buku ini jadi terasa eksklusif hanya untuk penggiat CID, tak terkecuali pelaku CSR yang seharusnya lebih memahami fungsi CID.

Dalam bukunya tersebut, Ditto menceritakan beberapa miskonsepsi CSR (halaman 4).  Miskonsepsi CSR ini pernah dituliskan Jalal dan Tom Malik dalam buku “Dari ‘CSR menuju CSR – Berbagai Kesalahan Umum Tentang CSR dan Sumbangan Pemikiran Untuk Meluruskannya“. Di antaranya, pemahaman yang menyatakan bahwa CSR adalah aspek filantropis semata. Selain itu, CSR hanya dianggap kegiatan sosial, sebagai community development, dan lain sebagainya.

Untuk membongkar salah kaprah praktik CSR, Ditto bahkan membuat candaan plesetan CSR sebagai Candu + Sandera +  Racun. Candaan ini hasil makalah seminar “CSR: What is and Benefit for Corporate” dengan pembicara Edi Suharto pada 2008.

Ujung-ujungnya, perusahaan akan tersandera berbagai kepentingan, termasuk hanya sebagai sapi perah bagi pihak yang memiliki kepentingan. Masyarakat sebagai penerima bantuan akhir malah dijadikan kambing hitam sebagai dampak kewajiban aturan perusahaan.

Otomatis, fungsi CSR sebagai khitahnya cenderung meleset. Pengembalian pemahaman salah kaprah praktik CSR selalu diperlukan sebagai titik tolak untuk merancang berbagai inisiatif. Terutama agar menjalankan fungsi CSR di rel yang efektif dan efisien.

Salah Kaprah Praktik CSR
Buku “CID: Catatan Inspiratif Praksis CSR dalam Pengembangan Masyarakat”. Foto: Didik Purwanto

CID Termasuk Bagian CSR

Tidak banyak yang memahami, fungsi CID sebenarnya telah masuk bagian CSR. Sesuai ISO 26000, CID masuk salah satu 7 subjek inti CSR (halaman 13).

Jika perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai khitahnya, Ditto menggambarkan fungsi CID bukan bersifat ‘buangan’ tapi ‘kunci emas’ untuk melanjutkan bisnis perusahaan.

Namun untuk menjalankan fungsi CSR sebagaimana mestinya, sekaligus mengaplikasikan CID, perusahaan perlu mengalokasikan waktu, tenaga, dan anggaran yang tak sedikit. Meski bukan berarti sumber daya irit itu tak mampu memberdayakan masyarakat lebih efektif.

Belum lagi tantangan peluang praktik korupsi yang membalut penggiat CID. Nilai integritas penggiat CID akan teruji, terutama menghadapi masyarakat, petinggi perusahaan, dan para pemangku kepentingan.

Tak terkecuali saat menghadapi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan ‘topeng preman’ sebagai organisasi masyarakat (ormas), kontraktor, hingga jurnalis.

Dengan kondisi itu, penggiat CID tak boleh berkecil hati. Apalagi saat LSM tadi datang dengan ‘membawa masalah’ serta menyampaikannya secara tak lumrah.

Kuncinya, menjadi penggiat CID dituntut bisa berkolaborasi dan berkomunikasi dengan setiap pemangku kebijakan. Tak terkecuali dari preman berbalut LSM tadi, yang bisa jadi menghasut masyarakat demi menggagalkan tujuan perusahaan. Ini semata-mata demi keberlangsungan tanggung jawab sosial perusahaan.

Salah Kaprah Praktik CSR
Cara pemesanan Buku “CID: Catatan Inspiratif Praksis CSR dalam Pengembangan Masyarakat”.

Gaya Bahasa Buku CID

Ditto Santoso terbilang cukup sukses menjelaskan praktik CSR dalam bahasa sederhana. Gaya bertutur orang pertama seakan mendekatkan pembaca dengan beragam kasus yang menerpa penggiat CSR, termasuk CID.

Penyampaian gagasan dalam artikel ringan sepanjang 3-6 halaman tak akan memicu pembaca kelimpungan. Terutama memahami masalah pelik penggiat CID di Tanah Air. Penataan tiga bab utama memudahkan pembaca dalam menaksir isi buku. Mulai dari mengawal keberlanjutan, mengelola pemangku kepentingan, hingga melibatkan dan mengembangkan masyarakat.

Gurauan lucu juga disematkan Ditto di setiap tulisannya. Data-data penting berupa grafik atau kutipan tokoh ternama juga menghiasi di sela-sela halamannya. Ditto juga menaruh studi kasus CID di perusahaan terkemuka dunia, seperti Danone dan Aqua (halaman 130). Seolah membenarkan bahwa penggiat CID harus memberikan kail, bukan ikan secara langsung ke masyarakat sekitar perusahaan.

Meski dianggap bukan konsumsi masyarakat biasa, buku “CID: Catatan Inspiratif Praksis CSR dalam Pengembangan Masyarakat” seolah akan merangkul anak kekinian agar lebih peduli dengan praktik CSR sesuai harapan.

Buku ini juga merekonstruksi praktik CSR yang tidak hanya membagikan bantuan hingga pemberdayaan masyarakat. Tetapi penggiat CID juga harus menjadi mediator jika terjadi masalah dengan perusahaan. Hasilnya, semuanya diuntungkan demi memajukan perekonomian nasional.

Buku CID
Buku “CID: Catatan Inspiratif Praksis CSR dalam Pengembangan Masyarakat”. Foto: Didik Purwanto

By Didik Purwanto

Copywriter | Ghost Writer | ex Business Journalist | Farmer

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *