AirAsia Bhd Group Bhd akan menerbitkan surat utang (obligasi konversi) masing-masing US$ 150 juta di Indonesia dan Filipina. Perusahaan juga kemungkinan akan menjual dan menyewakan sekitar 20 pesawatnya tahun ini untuk membantu keuangan perusahaan.
CEO AirAsia Group Bhd Tony Fernandes mencoba meredam ketakutan investor atas laporan akuntansi perusahaan penerbangan murah tersebut. Perusahaan akan menggalang dana melalui cabang operasionalnya di Filipina dan Indonesia serta dapat menjual beberapa pesawatnya untuk mengurangi utang kelompok.
Komentar Fernandes muncul setelah perusahaan GMT Research di Hong Kong mengeluarkan laporan yang memertanyakan praktik akuntansi di AirAsia. Dalam laporannya, AirAsia menggunakan transaksi asosiasi perusahaan untuk mendongkrak bisnis induk.
Cara ini dinilai mengejutkan investor dan memicu saham perusahaan ke level perdagangan harian terendahnya. Analis juga memertanyakan induk AirAsia terlalu bergantung pada bisnis anak usaha di masing-masing negara. Padahal beberapa asosiasi perusahaan tersebut sudah ada yang kehabisan uang dan pembayaran pinjaman juga terlambat.
Data Reuters menyebut, AirAsia menjadi saham maskapai terburuk kedua tahun ini setelah Virgin America dengan penurunan 34 persen.
“Beberapa rincian di sini masih dalam proses namun apa yang tertulis akan lebih atau kurang menjadi kenyataan. Atas pergerakan saham kami, kami berbagi rincian dengan Anda tentang awal perencanaan kami,” kata Fernandes dalam surat kepada investor tanpa menjawab pernyataan laporan GMT.
Pejabat AirAsia menolak mengomentari laporan GMT ataupun surat dari Tony Fernandes.
Sebagai maskapai penerbangan murah dengan pertumbuhan tercepat di dunia, pangsa pasar AirAsia mulai tergerus pesaing seperti Jetstar dari Australia Qantas Airways Ltd dan maskapai dari Indonesia, Lion Air Group. AirAsia juga mengalami rugi bersih pada kuartal IV-2014 meski kembali membaik akibat harga avtur yang semakin murah.
AirAsia juga menjadi salah satu pelanggan produsen pesawat Airbus dan kini hanya membeli pesawat baru lebih sedikit untuk mengelola kapasitas. Pada Senin (15/6), saham AirAsia turun 3,9 persen, setelah sempat jatuh 18 persen sejak laporan GMT yang diterbitkan 10 Juni.
“Perusahaan harus mengantisipasi operasional maskapai asosiasi di masing-masing negara karena banyak yang bermasalah. Kecuali Thai AirAsia, semua unit usaha maskapai merugi dan cenderung didanai induk. Akibatnya, pinjaman membengkak dua kali lipat tahun lalu dan lebih dari 50 persen pembayaran utangnya terlambat. Nilai utangnya bisa mencapai setengah dari nilai ekuitas AirAsia, tertinggi sepanjang sejarah,” katanya.
AirAsia sebelumnya telah mendesak Indonesia AirAsia dan AirAsia Filipina untuk mengumpulkan dana demi mengembangkan bisnis. Namun kondisi tersebut terpukul pelemahan permintaan dan kelebihan kapasitas di Asia Tenggara. Dalam suratnya, Fernandes mengatakan bisnis AirAsia masih membaik.
“Kami percaya tahun ini akan menjadi tahun yang sangat baik di lingkungan operasional yang lebih baik dan pasar yang jauh lebih rasional. Kami telah menunjukkan beberapa kemajuan pada kuartal I-2015. Kami percaya pada hasil, bukan kata-kata,” kata Fernandes.
GMT menyebut langkah terakhir AirAsia tampaknya langkah ke arah benar meski isu-isu lain tetap belum terpecahkan. “Tampaknya saham manajemen menjadi keprihatinan kami tentang pengaruh di seluruh kelompok,” kata pendiri perusahaan riset Gillem Tulloch.
Fernandes juga menyebut bahwa AirAsia sedang mencari rekan bisnis untuk membiayai sekitar US$ 700 juta di Indonesia dan US$ 600 juta di Filipina mulai 2017.
“Saya kira mungkin agak sedikit skeptis, mereka mengatakan kami akan membawa beberapa investor untuk berinvestasi pada ekuitas perusahaan asosiasi dan juga ikut serta dalam obligasi konversi sehingga mereka dapat menggunakan uang untuk bisa membayar utangnya,” kata analis Credit Suisse Timothy Ross.
“Namun saya akan bertanya, siapa yang akan berinvestasi dalam bisnis yang tidak menghasilkan penghasilan apapun. Apa ini hanya untuk membiayai perusahaan induk?” katanya.
Sumber: Reuters