belanja online

Kepala Investasi Perusahaan konsultan realestat Cushman & Wakefield Nick Potter mengatakan, fungsi pusat perbelanjaan kini bergeser dari menjual berbagai produk komoditas menjadi pengecer yang menawarkan layanan tidak bersifat fisik.

“Pusat perbelanjaan itu desa modern. Di sana setiap orang berkumpul. Pusat-pusat ini biasanya terletak di pusat kota. Mereka memiliki infrastruktur kuat dan menawarkan kemampuan bergerak seiring perkembangan zaman,” katanya.

belanja online

Di Australia, mal terkemuka mempertimbangkan kembali ke akar pusat desa untuk merayu penyewa baru dengan menjauhkan toko-toko hanya menjual barang, tapi lebih ke restoran dan bahkan taman hiburan. Kafe dan restoran telah lama membantu menarik pembeli ke mal.

Pusat perbelanjaan Chadstone milik Ravinity di Melbourne, mal terbesar di Australia sekarang menjadi lokasi taman hiburan besar di belahan bumi selatan, Legoland.

Perusahaan juga memanfaatkan teknologi baru seperti pengenalan wajah untuk mengindentifikasi konsumen melalui usia dan jenis kelamin dan menganalisis belanja mereka.

Langkah ini seturut visi Victor Gruen, seorang Amerika kelahiran Austria yang pada tahun 1950 mengembangkan konsep arcade sebagai ruang publik mirip dengan pasar berabad-abad lalu.

Kehidupan masyarakat memainkan peran sentral. Pengembang menganggap telah mendefinisikan mal tidak hanya tempat untuk berbelanja tapi juga menjadi layanan dan ruang hiburan berbasis masyarakat.

Seturut penjualan online, pusat perbelanjaan juga mengalami penurunan penjualan barang, terutama pakaian. Kedatangan Amazon di Australia sebagai peritel belanja online akan memengaruhi penjualan pusat perbelanjaan.

“Jika belanja online melonjak, mungkin semua pusat perbelanjaan akan menjadi kafe,” kata pakar akuntansi Universitas Sydney David Bond kepada AFP.

“Anda mungkin akan melihatnya bergerak dari produk yang dijual secara online, versus layanan, kafe, bioskop, hingga pusat permainan di mal.”

Pengamat budaya dari Universitas Canberra Lisa Scharoun menganalisis, lebih dari setengah mal lokal saat ini dipenuhi restoran dan kafe. Pengembang berani mengalihkan dari toko berbasis konsumsi dan lebih bersedia menyewakan ruang kepada pengguna lain, seperti gereja dan perpustakaan.

“Saya pikir mal ini berkembang kembali ke apa seperti pertama kali muncul. Itu seharusnya seperti ruang komunitas tertutup.”

Sumber: AFP

By Didik Purwanto

Copywriter | Ghost Writer | ex Business Journalist | Farmer

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *